Jejak cerita – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat prevalensi tertinggi kasus gangguan jiwa berat, khususnya skizofrenia, di seluruh Indonesia. Hal ini mengundang perhatian serius dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berupaya mengidentifikasi penyebab dan mengatasi masalah tersebut. Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes, Imran Pambudi, menjelaskan bahwa situasi ini bisa dipahami sebagai fenomena gunung es, di mana kasus yang terlihat hanyalah bagian kecil dari masalah yang sebenarnya jauh lebih besar dan tersembunyi.
Menurut Imran, fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Skizofrenia sebenarnya sudah ada di masyarakat sejak lama, namun seringkali tertutup oleh stigma sosial, kurangnya deteksi kasus yang efektif, dan mitos-mitos mengenai gangguan jiwa. “Setelah pandemi Covid-19, peningkatan penggunaan media sosial mempercepat penyebaran informasi tentang kasus-kasus skizofrenia, yang kemudian menjadi viral dan menarik perhatian publik,” ungkap Imran dalam wawancara dengan Tribunnews.com pada Senin, 12 Agustus 2024.
“Baca juga: Penggunaan Handphone Berlebihan, Dampak terhadap Kesuburan”
Salah satu tantangan utama adalah Durasi Psikosis yang Tidak Diobati (DUP), di mana penderita seringkali mengalami gejala awal seperti halusinasi atau waham namun belum mendapatkan penanganan medis. Banyak keluarga menganggap gejala tersebut sebagai masalah mistik atau gaib, sehingga mereka lebih memilih mencari bantuan dari orang pintar daripada membawa pasien ke fasilitas kesehatan. Rata-rata, pasien skizofrenia baru mendapatkan perawatan medis setelah dua tahun mencari alternatif, atau hampir 20 bulan DUP.
Menanggapi kondisi ini, Kemenkes telah melaksanakan berbagai upaya untuk mengurangi kasus skizofrenia dan gangguan jiwa berat lainnya. Langkah-langkah tersebut meliputi peningkatan literasi masyarakat mengenai kesehatan jiwa, pelatihan bagi tenaga kesehatan, dan penyediaan obat psikofarmaka yang memadai di puskesmas. “Peningkatan literasi masyarakat dan akses ke layanan kesehatan sangat penting. Kami juga fokus pada pelatihan tenaga kesehatan untuk memastikan mereka siap menghadapi dan menangani kasus gangguan jiwa,” jelas dr. Imran.
“Simak juga: Kekerasan Terhadap Bayi dan Balita Lagi Marak”
Pada Juni 2024, Kemenkes merilis data terbaru mengenai prevalensi gangguan jiwa psikosis atau skizofrenia di Indonesia. Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa Yogyakarta merupakan provinsi dengan tingkat prevalensi tertinggi. Dengan 9,3 persen dari rumah tangga di wilayah ini memiliki anggota keluarga yang menunjukkan gejala gangguan jiwa psikosis atau skizofrenia.
Dengan adanya data dan pemahaman yang lebih baik tentang prevalensi skizofrenia di Yogyakarta. Kemenkes berkomitmen untuk terus memperbaiki strategi penanganan dan pencegahan gangguan jiwa berat. Melalui peningkatan kesadaran, aksesibilitas layanan kesehatan, dan pelatihan tenaga medis. Diharapkan kasus-kasus skizofrenia dapat diidentifikasi lebih dini dan ditangani dengan lebih efektif, mengurangi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan.