Jejak cerita – Harga pertamax dalam dunia energi dan bahan bakar, fluktuasi harga adalah hal yang lumrah dan sering kali memengaruhi banyak aspek ekonomi dan sosial. Salah satu topik yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah saran dari pakar ekonomi bisnis, Profesor Hamid Paddu, yang merekomendasikan agar Pertamina menaikkan harga jual BBM nonsubsidi jenis Pertamax. Artikel ini akan membahas alasan di balik saran tersebut dan implikasinya bagi Pertamina serta konsumen.
Menurut Profesor Hamid Paddu, ada beberapa alasan mendasar mengapa Pertamina disarankan untuk menaikkan harga Pertamax, salah satunya adalah untuk menjaga kesehatan finansial BUMN tersebut. “Mandat pertama yaitu korporasi. Dalam hal ini, Pertamina harus menyelamatkan juga korporasinya untuk negara. Kalau tidak dinaikkan, bisa berdampak serius pada keuangan BUMN tersebut,” ungkap Hamid.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pertamina tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat dan pemerintah, tetapi juga harus memastikan bahwa perusahaan tetap berfungsi secara finansial. Dalam konteks ini, penyesuaian harga BBM menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan keuangan perusahaan.
“Baca juga: Pinjaman Online Menembus Angka Rp 66,79 Triliun”
Salah satu faktor utama yang memengaruhi keputusan ini adalah fluktuasi harga minyak global dan tekanan terhadap nilai tukar mata uang. Harga minyak mentah dunia sering mengalami perubahan, yang berdampak langsung pada biaya produksi dan distribusi BBM. Selain itu, nilai tukar mata uang yang tidak stabil dapat mempengaruhi biaya impor bahan baku. Dengan kondisi tersebut, Pertamina menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan biaya operasional dan harga jual tanpa menimbulkan kerugian.
“Pertamina juga merupakan korporasi yang memiliki kewajiban mendapatkan untung. Itu sebabnya, dalam kondisi harga minyak berfluktuasi serta nilai tukar mata uang yang tertekan seperti sekarang, mau tidak mau Pertamina harus menyesuaikan harga Pertamax agar tidak merugi,” jelas Hamid. Menahan harga Pertamax di tingkat yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar dapat mengakibatkan kerugian finansial yang signifikan bagi perusahaan.
Saat ini, harga Pertamax di DKI Jakarta adalah Rp12.950 per liter, yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga BBM RON 92 yang dijual oleh SPBU swasta lainnya. Misalnya, Revvo 92 dari Vivo dijual seharga Rp14.320 per liter, Super dari Shell mencapai Rp14.520 per liter, dan BP 92 (BP AKR) dihargai Rp13.850 per liter. Perbedaan harga ini menunjukkan bahwa Pertamax memang memiliki harga jual yang lebih kompetitif.
Namun, Hamid berpendapat bahwa meskipun harga Pertamax naik, harga tersebut masih akan kompetitif sesuai dengan hasil penghitungan cost-nya. “Pertamina tidak mungkin menaikkan harga semaunya,” jelas Hamid. Dengan mempertimbangkan biaya operasional dan harga pasar, penyesuaian harga Pertamax diharapkan tidak akan membuatnya kehilangan daya saing di pasar.
“Simak juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Optimisme dan Prediksi S&P”
Saran dari Hamid juga mencakup strategi untuk mencegah migrasi pengguna dari Pertamax ke Pertalite, yang biasanya memiliki harga lebih rendah. “Sekarang kalau mau isi Pertalite kan dipantau dengan alat digital. Dari situ akan ketahuan setiap penggunaan Pertalite pada setiap mobil itu. Tetapi, sistem tersebut harus terus di-improve, diperbaiki terus karena berkaitan dengan informasi data yang dinamis,” ujar Hamid.
Dengan sistem monitoring yang lebih baik, Pertamina dapat mengelola distribusi BBM secara lebih efektif. Dan mengurangi kemungkinan pergeseran pengguna dari Pertamax ke Pertalite yang dapat mengurangi pendapatan dari BBM nonsubsidi.
Penyesuaian harga Pertamax adalah langkah yang penting dan strategis untuk menjaga kesehatan finansial Pertamina sebagai BUMN serta menyesuaikan diri dengan kondisi pasar yang berubah. Dengan mempertimbangkan fluktuasi harga minyak global dan nilai tukar mata uang, serta kebutuhan untuk tetap kompetitif di pasar. Pertamina dihadapkan pada tantangan untuk menemukan keseimbangan yang tepat.
Selain itu, mencegah migrasi pengguna dari Pertamax ke Pertalite melalui peningkatan sistem targeting dan monitoring adalah langkah penting dalam memastikan keberlangsungan bisnis BBM nonsubsidi. Dengan pendekatan yang hati-hati dan berbasis data, Pertamina dapat menjaga stabilitas harga dan keuangan perusahaan sambil memenuhi kebutuhan konsumen.